Malam ini. ijinkan gw memulai sebuah cerita.
sebuah cerita yang penah di ceritain oleh seseorang, seseorang yang menurut gw spesial, karena gw udah kenal dia lama. lama sekali, meskipun gak pernah satu sekolah, satu kampus, satu pekerjaan, tapi gw udah nganggap dia abang kandung.
udah lama seinget gw buat maen ke kota pahlawan ini. salah satu kota yang jadi saksi perjuangan gw dulu buat nyari kerja serabutan, dan hari ini, gw balik lagi ke kota ini, buat ketemu seseorang.
seseorang yang gak tau kenapa selalu bikin gw kangen, kangen wejengan beliau. namanya. adalah mas Damar.
ngomong soal mas Damar, gw jadi inget sebuah cerita dimana beliau menceritakan salah satu cerita pengalaman beliau, yang menurut gw menarik, terlepas dengan sebegitu ngerinya cerita itu, tetap saja, cerita ini adalah cerita yang selalu gw inget.
cerita tentang “Deso Gondo Mayit”
“Deso edan!!” (Desa Gila) kata mas Damar, matanya masih menatap kesana-kemari seolah peristiwa itu membekas di ingatanya.
“Edan yo opo?” (Gila bagaimana?) gw bertanya. penasaran.
“yo opo gak Edan, bendino onok ae sing mati. nek gak mati, jarene tondo balak”
(bagaimana gak gila, setiap hari selalu saja ada orang yang mati, kalau tidak ada yang mati, katanya justru mengundang musibah)
percakapan kami sahut menyahut. membuat gw semakin penasaran, sampai, pendangan gw teralihkan ketika motor Honda RC hitam, baru saja berhenti.
Mas Erik. sosok yang juga gw kenal akrab, datang, duduk dan memesan kopi, disini, gw melihat mas Damar melihat mas Erik.
“Rik, iki loh, ceritakno cerito sing awakmu ambek aku jaman kuliah biyen, sing nyasar gok Desa gondo mayit” (Rik, ini loh, ceritakan cerita kamu dan aku yang jaman masih kuliah, waktu kita nyasar di sebuah Desa bernama Gondo Mayit)
wajah tenang mas Erik tiba-tiba berubah, mengisyaratkan ketidakenakan, dan gw bias menangkap raut ngeri itu dari alisnya.
“jek di iling-iling ae, wes lalik’ke ae” (masih di ingat saja, sudah lupakan)
mendengar itu, gw pun langsung memohon, sejujurnya, gw paling suka mendengar cerita-cerita seperti ini, toh gw udah gak asing lagi dengan hal-hal seperti ini.
awalnya, mas Erik tampak ogah menceritakan, berbekal bujukan bahwa gw yang akan bayar kopi di tambah rokok, untuk cerita ini, gw pun, menyanggupi.
disinilah, gw melihat mas Erik, menunjuk sesuatu. arah Utara dari kota pahlawan ini, gw mengernyitkan dahi.
“eroh daerah T****S gok kidule gunung P*******N??” (kamu tau daerah ****** di utara gunung *********??)
gw mengangguk.
“yo, gok kunu Desone” (disanalah Desa ini berada)
dan disinilah. cerita ini di mulai.
Mas Damar baru saja di tunjuk untuk menjadi ketua Mapala periode tahun 2011-2012, di universitas t**** b**** a******, salah satu Universitas yang cukup di kenal di kota ini.
menjabat menjadi ketua pada semester 6 bukanlah hal bijak, terlebih ketika ada agenda, bahwa bulan juli, akan ada projek untuk mendaki puncak Mahameru, dimana 4 universitas bersama Mapala mereka akan bergabung
disinilah, mas Damar membuat satu acara dadakan untuk mempersiapkan kesanggupan team mereka pada bulan juli, tetapi, tak satupun anggota sanggup, karena bertepatan dengan UTS
karena minimnya persiapan, mas Damar pun berinisiatif untuk melanjutkan agendanya, meski bila harus seorang diri.
mas Erik, ketua Mapala sebelumnya pun akhirnya ikut bergabung. karena toh ini untuk nama Universtas mereka, dan disinilah mereka dapat satu tempat yang di rasa cocok.
“Alas T*****” salah satu tempat untuk melatih stamina karena medanya yang menanjak dan juga tempat terbaik untuk mendapat momen dimana suhu tempat ini nyaris seperti suhu di puncak Mahameru.
sebelum mas Damar dan mas Erik tau, apa yang sudah menunggu mereka disana.
persiapan sudah di lakukan satu minggu sebelumnya, mulai dari ijin untuk mendaki sekaligus menyisir tempat yang akan di jadikan tujuan pendakian ini, meski jalur yang akan di tuju mas Damar dan Erik, bukan jalur pendakian pada umumnya, namun, mas Damar meyakinkan mas Erik,
perjalanan 6 jam, terasa singkat, terlebih di hari yang semakin petang, mas Damar masih memeriksa semuanya, kompas yang selalu di bangga-banggakan pun tak luput dari genggaman.
mobil mereka berhenti di salah satu pos yang sudah tidak asing lagi bagi mereka.
anehnya. malam itu. tidak ada satupun yang berjaga, seharusnya, ada satu atau dua penjaga, karena meskipun ini bukan jalur pendakian resmi, ini adalah jalur yang seringkali ramai pengunjung, karena tempat ini adalah satu tempat objek wisata yang terkenal.
menunggu, setidaknya itu yang di lakukan mas Damar, karena bagaimanapun laporan itu penting terutama untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak di inginkan.
namun, satu-jam dua jam berlalu, dan masih belum ada satu batang hidung pun yang muncul, hal itu, membuat mas Erik gusar
“wes ngene ae loh Mar, tinggalen KTP gok kene, tulisen pesan, bahwa kita sudah melaporkan. toh gak onok sing eroh sampe kapan petugas;e gak onk kan?” (sudah, begini saja Mar, tinggalkan KTP disini, tulis pesan, bahwa kita sudah melapirkan, lagian kita gak tau kapan petusanya ada)
Bimbang. itu lah yang mas Damar pikirkan. bukan sekali dua kali hal ini terjadi, namun satu yang mas Damar ingat.
hal-hal seperti ini biasanya di iringi dengan petaka yang buruk di langkah selanjutnya, namun, Erik benar. tidak ada yang tau kapan petuas itu akan kembali.
nekat. mas Damar dan mas Erik pun akhirnya melangkah masuk ke dalam hutan, bersiap untuk menyambut Penghuni yang sudah menunggu mereka.