Cerita ini saya repost dari blog Pidi Baiq, selamat membaca…
***
I
DE DAMPKRING
DE DAMPKRING
1
Langit warna abu-abu dan rendah, tetapi belum hujan. Itu bulan Mei yang khas di tahun 2001 dan dingin. Cuaca memang sedang benar-benar cukup buruk, bahkan di seluruh daratan Eropa.
2
Setelah bersepeda sendirian, Mahadi duduk di De Dampkring, di ruangan yang didominasi oleh cahaya warna merah dengan kualitas tingkat rendah.
De Dampkring adalah sebuah coffee shop, di mana sejumlah kecil ganja dijual. Terletak di Handboogstraat, Amsterdam. Tidak jauh dari pasar Amsterdam Flower. Saat itu hampir pukul sembilan malam. Suasana cukup tenang bersama alunan musik dengan volumenya yang tepat.
3
Di sana, Mahadi bertemu dengan Daiva Sarah Bat Sheva. Seorang gadis dengan rambutnya yang tebal sebahu, berwarna coklat. Dia datang dari kota Petah Tikva, Israel, untuk kuliah di jurusan Literature, Culture and Society di Universiteit Van Amsterdam.
Daiva nampak merasa aman dengan dirinya sendiri. Wajahnya berbinar di dalam remang cahaya sambil menggosokan tangannya untuk bisa menghangatkan dirinya karena suhu yang cukup rendah. Dia duduk di dekat jendela, menggunakan celana jeans dengan warna abu-abu agak pudar. Mantelnya warna merah dengan syal hitam di lehernya.
Mereka baru saling mengenal tadi siang, di acara seminar dengan tema: “Israeli-Palestinian Peace and the Role of the International Community” yang diselenggarakan oleh Departemen Informasi Publik PBB.
Sulit untuk berpikir bagaimana akhirnya, di acara itu, untuk pertama kali, mereka saling mengenal. Dunia ini, ternyata, memang sangat menarik.
4
Mahadi duduk saling berhadapan dengan Daiva di De Dampkring. Dia berusaha menyadari bahwa dirinya sudah benar-benar bisa memenuhi syarat untuk enak diajak bertemu oleh Daiva di sana. Lalu percakapan membaur di udara, di atas minuman.
Daiva merokok sambil sesekali memandang ke luar, melihat pejalan kaki yang membuat percikan pada genangan air berwarna abu-abu.
“Aku sudah terlatih sejak bayi untuk menjadi seorang Yahudi”, kata Daiva tersenyum.
“Menjadi seorang gadis Yahudi yang menyenangkan dan duduk denganku di acara seminar yang membahas Palestina dan Israel”, jawab Mahadi tersenyum. Daiva ketawa, membuat wajahnya seperti melebar, kemudian tersenyum penuh toleran.
“Bagaimana kamu bisa bilang aku menyenangkan?”.
“Lebih dari yang bisa aku lihat dengan mataku”
“Apa yang lebih baik dari mata untuk melihat?”, Daiva menggumam.
“Keyakinan”, jawab Mahadi tersenyum.
“Hmmm. Seorang gadis Yahudi ditraktir minum oleh seorang muslim yang baik. Bagaimana pendapatmu?”, tanya Daiva tersenyum, matanya memandang Mahadi.
“Ditraktir oleh seorang Muslim Indonesia yang tadi siang membela Palestina dalam sebuah argumen”, jawab Mahadi ketawa. Daiva juga ketawa.
“Dan keduanya tetap akan sesuai duduk di sini kan?”, tanya Daiva kemudian.
“Dijamin. Tidak akan pernah saling menyinggung perasaan”.
“Ah, lagi pula aku cuma seorang Yahudi yang menghadiri sinagog ortodoks cuma untuk menyenangkan ibuku saja ha ha ha” dia mengangkat bahu.
Mahadi diam tetapi dia tesenyum untuk Daiva.
“Menjadi vegetarian, mengikuti aturan diet, mentaati sepuluh perintah Tuhan, menjauhi daging babi, merayakan semua hari suci ritual di bawah bayang-bayang seorang Imam dan Rabi”, Daiva menambahkan dengan cepat.
Rabi yang dimaksud oleh Daiva adalah Guru, atau ulama sebagai gelar untuk seseorang yang berilmu yang memberi pengajaran agama Yahudi, termasuk menentukan aturan dan penerapan hukum di masyarakat Yahudi.
Mahadi masih diam, seperti membiarkan Daiva untuk terus bicara.
“Kami memiliki sejarah yang kaya. Kami sudah melakukan perjalanan yang panjang, menembus laut merah”, kata Daiva lagi, tersenyum. “Ya, antara mukjizat yang dihadapi oleh Musa dan Elia. Dan orang-orang yang datang kemudian bersama Yesus yang sederhana”.
“Kitab suciku, menghormati nabi-nabi besar bahkan meskipun dia seorang Yahudi”, kata Mahadi bicara.
“Ya,” Daiva menggumam, “Itu adalah paradoks besar. Ini hanya pendapat pribadiku, dan mungkin tidak banyak berguna. Tapi yang lebih menakjubkan, maksudku setelah nenek moyangku menembus laut Merah, keluar dari Mesir untuk berdiri di puncak gunung Sinai dan menerima Taurat, sekarang salah satu keturunan mereka sedang duduk bersama laki-laki dari Indonesia ha ha ha”
“Nenek Moyangmu adalah orang-orang pilihan Tuhan”
Daiva ketawa: “Itu. Kedengarannya lucu bagiku, dan kamu adalah pilihanku untuk jadi kawan”, katanya.
“Terimakasih”, jawab Mahadi otomatis. “Kalau nenek moyangku seorang pelaut. Mereka harus pakai perahu. Kamu tahu kenapa?”
“Karena apa?”, tanya Daiva
“Karena mereka tidak bisa membelah laut”
Daiva ketawa: “Kita semua dampak dari nenek moyang kan? Apa selamanya aku ditakdirkan untuk menjadi seorang pengembara sebagaimana Musa?“, katanya.
“Turis di kehidupan”
“Oh, ya”, Daiva ketawa, “Aku merasa seperti turis yang dikelola oleh Rabi-Rabi. Mereka menjadi instrumen kendali mutu ha ha ha”
Mahadi ketawa.
“Ngomong-ngomong. Apa pandanganmu tentang Israel?”, tanya Daiva
“Israel adalah tempat di mana kamu bisa nelepon ke rumahmu di sana kalau ingin”
“Ah, ya!”, jawab Daiva ketawa. “Kalau rindu”
Di sana, mereka memiliki diskusi itu. Menghabiskan sisa waktu dari dua orang yang menjalin persahabatan yang tidak dilarang oleh perasaan dan kebijaksanaan, sebagai salah satu dari daya tarik kehidupan yang santai di sebuah tempat dengan penuh semangat di dalam kebijaksanaan liberal kota itu.
Harusnya menyenangkan, bahwa mereka terlihat tidak memiliki sepenuhnya naluri kesukuan. Mereka benar-benar bertindak tidak seperti orang-orang yang memiliki pemikiran sempit.
Sebelum akhirnya mereka berpisah untuk kembali ke tempatnya masing-masing, Daiva punya satu kalimat ini: “Aku rindu ibuku. Rindu Duduk di sampingnya di Petah Tikva, rambutnya berwarna abu-abu”
II
MAHADI DAN DAIVA
MAHADI DAN DAIVA
1
Dan aku adalah Pidi Baiq, yang akan menuliskan cerita mereka. Aku akan berusaha sebisa mungkin dan dengan berdasarkan kepada sejauh yang bisa aku ketahui tentang mereka. Aku akan memudahkan kamu untuk mengerti apa yang akan aku ceritakan tentang Mahadi dan Daiva.
Aku akan memberitahu kamu bahwa pada saat itu Mahadi sedang merampungkan gelar master Filsafatnya di Universitas Van Amsterdam, sambil magang di majalah Het Parool yang menangani jurnalisme budaya.
“Filsafat itu belajar apa?”, kutanya, pada kesempatan ketika aku bertemu dengannya.
“Belajar apa ya? Belajar berpikir kritis katanya”
“Nanti jadi tukang ngritik?”
“Ah. Gak yakin juga sih apa yang dipelajari di kelas filsafat. Yang pasti, yang aku dapatkan cuma rindu Indonesia, rindu sambel, rindu sayur asem, rindu jalan berlubang, rindu drainasenya yang gak keurus”
“Ha ha ha ha”
“Aku tidak ngritik. Aku sedang bicara tentang khas dari sebagian besar kota di Indonesia”
“Apakah Mahadi mempelajari bahasa?”
“Tapi bahasa cukup membantuku mengucapkan pikiranku”, jawab Mahadi.
“Apakah Mahadi memperoleh keterampilan untuk merumuskan, untuk menganalisis dan mendiskusikan masalah filosofis?”
“Bagaimana aku memberitahu kamu bahwa aku sudah memperolehnya atau belum?”
“Oh gitu ya?”
“Bisa gitu, bisa enggak”, jawab Mahadi ketawa
“Katanya di kelas filsafat mempelajari ilmu Logika dan Bahasa, Pikiran, Tubuh dan Perilaku. Itu betul?”
“Kata siapa?”
“Kata saya tadi ha ha ha. Tapi apa betul, kamu belajar itu?”
“Pidi, apakah kita yakin bahwa kita betul-betul sudah memiliki pengetahuan? Apakah kita benar-benar memiliki alasan yang kuat sehingga kita percaya akan sesuatu? Apakah ada hal lain di dunia ini yang tidak mungkin kita ketahui? Apakah untuk mengetahui sesuatu harus selalu ada bukti? Apakah ada manusia yang benar-benar bebas, Pidi? Apakah pohon-pohon itu memiliki hak? Apakah binatang-binatang itu memiliki hak? Dalam kondisi apa yang benar untuk membatasi kebebasan seseorang? Apa yang membuatmu yakin Tuhan itu ada, Pidi? Apakah kebenaran itu, Pidi?”
“Waduh. Apa Filsafat itu untuk bisa berpikir lebih dalam dan memunculkan banyak pertanyaan mengenai semua hal?”
“Maksudku, sejak berabad-abad, pertanyaan-pertanyaan macam itu menjadi hal yang paling utama di dalam filsafat”
“Kamu sudah mendapat jawaban untuk semua pertanyaan itu?”
“Hal yang penting, kukira, bukan jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul hanya supaya kita bisa selalu melibatkan pemikiran. Menjadi berpikir karena didorong oleh adanya pertanyaan”
“Hmmm. Oke. Jadi apa itu Filsafat?”
“Filsafat?”
“Ya, simpel saja.”
“Filsafat adalah salah satu jurusan yang ada di Perguruan Tinggi”
“Ya, benar! Ha ha ha”
“Oh benar ya?”
“Bisa”
Memasuki tahun kedua tinggal di Amsterdam, Mahadi bekerja sampingan sebagai illustrator di sebuah agen kreatif di Amsterdam: Logdran.
3
Di hari berikutnya, Daiva sedang bersama Xio Lio. Mereka duduk berdua di taman Westerpark, yaitu tempat nongkrong yang cukup populer di Amsterdam. Mereka hanya makan sambil bicara.
“Aku tidak merasa penting bertanya-tanya terbuat dari apa Mahadi itu,” jawab Daiva ke Xio Lio, “tapi setelah seminggu mengenalnya, aku benar-benar ingin menjadi temannya. Dan aku pikir aku mulai menyukainya secara alami”, lanjut Daiva. Xio Lio tersenyum.
Xio Lio berkewarganegaaraan China. Dia memiliki pandangan filosofi yang tidak percaya keberadaan Tuhan dan dewa-dewa. Dia lebih percaya dengan keberadaan neneknya yang sudah meninggal, yaitu yang selalu konsisten memantau hidup cucunya, disebabkan oleh karena merasa memiliki kasih sayang yang kuat kepada siapa yang menjadi keturunannya.
“Aku bertemu dengannya di Cafe De Dampkring. Aku benar-benar menyukai tempat itu dengan jendela berkabut”, kata Daiva lagi
“Apa yang kalian bicarakan di sana?”
“Kukira Mahadi memiliki pandangan yang benar-benar selalu menyangkut soal-soal kehidupan. Dia mendapat banyak ide tentang pikirannnya bahkan dari seekor ayam?”
“Ayam?”
“Sebenarnya ada banyak yang ingin aku tanyakan. Sepertinya itu tidak akan masalah buat dia”
“Sebentar. Apa katanya tentang Ayam?”
“Ayam, katanya, adalah binatang cerdas. Ayam tahu bagaimana caranya masuk ke dalam rumah tanpa bisa diusir”
“Bagaimana?”
“Menyamar menjadi Nugget Ayam”
“Ha ha ha. Ya. Masuk dalam plastik kemasan kaum kapitalis”
“Kita belajar dari binatang”
“Oke. Kata dia?”
“Mahadi bilang kita banyak belajar dari binatang”
“Apa katanya?”
“Manusia mengubur mayat, belajar dari burung gagak?”
“Ah, bagaimana dia bisa bicara seenaknya?”
“Seorang atheis macam kamu akan selalu skeptis soal kepercayaan. Tidak akan mengerti”
“Ah. Ya coba jelaskan bagaimana manusia belajar mengubur mayat dari gagak? Katamu dia mahasiswa Filsafat, Harusnya dia bisa memberikan argumen dengan dasar filosofis, atau sosial, atau sejarah setidaknya”
“Dengan Sejarah”
“Apa penjelasannya?”
“Dalam Sejarah klasik kami. Qabil, keturunan nabi Adam, tidak tahu harus diapakan jasad adiknya yang sudah dia bunuh. Kemudian dia melihat seekor burung gagak menggali tanah, Sejak itu dia tahu bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya”
“Oke, meskipun bagiku itu dongeng”
“Gaya hubungan sex juga katanya, kita meniru binatang. Ini ada bukti empiris, kamu harusnya bisa terima”, kata Daiva tersenyum.
“Gaya yang mana?”, Xio Lio ikut tersenyum juga
“Doggy Style ha ha ha”
“Ha ha ha. Ya”
“Binatang adalah guru ha ha ha”
“Coba kamu ceritakan apa yang Mahadi makan, aku akan ngasih tau siapa dia sebenarnya”, tanya Xio Lio
“Hei, itu kata-kata Jean Anthelme Brillat Savarin”
“Bukannya Socrates?”
“Jean Anthelme Brillat Savarin! Oh. Aku pernah nanya ke Mahadi, siapa Socrates”
“Siapa katanya?”
“Katanya kalau ada Socrates berjalan sendirian, khabari dia, orang itu adalah orang yang dicarinya”
“Mau apa? Socrates itu orang yang terlatih untuk berdebat. Apakah dia siap?”
“Katanya, dia hanya mau memberitahu Socrates bahwa dia sudah akan tertidur ketika Socrates selesai bicara”
“Ha ha ha. Kapan kamu bertemu lagi dengan Mahadi?”
“Lusa. Kami mau nongkrong di Vondelpark. Kalau ada waktu, kamu bisa ikut”
“Lusa?”
“Ya. Dia suka kopi. Kita berbicara banyak soal itu di kedai”
“Ngomong-ngomong, dia seorang muslim katamu?”
“Ya. Dan baik. Bagiku, bukan siapa dia, tetapi apa yang dia lakukan”
“Tapi kamu belajar kan untuk bersikap kritis terhadap semua hal yang berbeda?”
“Mahadi sama denganku. Katanya, kita semua sama, manusia yang ingin makanan gratis”
“Oke”, jawab Xio Lio ketawa. “Tidak masalah. Kalau bertemu dengannya, aku mungkin akan nanya ke dia soal Tuhan. Boleh?”, kata Xio Lio kemudian.
“Tanyakan sendiri”
“Kukira, lusa aku kosong. Aku bisa ikut. Jam berapa?”
“Sore”
“Ya oke. Aku pastikan bisa ikut”
“Setan harus mendapat haknya bertemu dengan Mahadi”, jawab Daiva ketawa.
“Oke” Xio Lio juga ketawa.
“Hati-hati. Di agamanya, dia punya doa penangkal Setan”
“Aku harus lebih kuat lagi kalau begitu”, jawab Xio Lio ketawa lagi.
2
Sementara siang itu, Mahadi sedang berkunjung ke rumah Kamal. Mereka Duduk di ruang belakang rumahnya Kamal, yaitu berupa dek dengan langitnya yang sedang cerah. Ada pot bunga di atas meja.
Kamal adalah seorang ahli komputer, yaitu kawan Mahadi yang berkewarganegaaran Mesir. Mahadi sering meminta bantuan Kamal untuk menyelesaikan beberapa kerjaannya yang bersangkut paut dengan urusan komputer.
Seperti biasanya, ketika kita sedang bertemu dengan kawan, selalu ada kesempatan untuk saling berbagi cerita di luar dari tujuan sebenarnya. Mahadi merasa harus membiarkan Kamal tahu tentang acara seminar “Israeli-Palestinian Peace and the Role of the International Community” yang dia hadiri dan berlanjut dengan dirinya jadi berkawan dengan Daiva Sarah Bat Sheva.
“Israel itu bencana buat orang-orang Palestina. Korban sesungguhnya Holocast bukan Yahudi, tapi orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang mereka duduki”, kata Kamal.
“Palestina menjadi korban, mereka harus membayar harga untuk Holocast”
“Apa yang sedang kita bicarakan ini sebenarnya?”, tanya Mahadi setelah dia menyimpan koran Amsterdam Post.
“Orang-orang Yahudi itu mencaplok tanah Arab. Ini sejarah yang memaksa kita untuk membenci Israel. Sekarang kamu malah berteman dengan salah satu dari mereka”.
“Aku harus gimana?”, tanya Mahadi.
“Sengaja atau tidak, kamu seperti membantu orang-orang Yahudi melalui dirinya untuk merasa diterima membangun negara Israel”, jawab Mahadi sambil duduk setelah ia menyimpan segelas kopi.
“Itu kan Zionist?”
“Orang-orang Yahudi di dalamnya”, jawab Kemal
“Oh gitu?”
“Mereka sudah berjuang dengan terorisme sejak awal”
“Termasuk Daiva?”
“Kalau Daiva seorang Yahudi, Daiva bagian dari mereka!”
“Setahuku, Daiva itu bahan kimia”, kata Mahadi tersenyum, kemudian dia menyalakan rokoknya.
“Apa maksudmu?”
“Bahan kimia yang membanjiri otakku”, jawab Mahadi kemudian. Dia senyum ketika mengatakannya. Kamal diam dan kemudian menyalakan rokoknya juga.
“Biarkan aku bicara, Kamal”
“Silakan”
“Aku senang bertemu dengan Daiva di De Dampkring. Aku memberitahu dia bagaimana menempatkan rasa senang di mataku. Aku merasa tidak mau kehilangan kesempatan untuk merasa suka bicara dengannya. Tidak ada pertempuran. Hanya kata-kata yang menyenangkan”
Kemal diam tanpa kesan
“Waktu aku bicara dengannya, aku bahkan tidak ingat kalau dia itu Yahudi. Saat itu aku hanya merasa bahwa dia adalah orang terbaik yang pernah aku tahu. Aku senang mendengar aksen bicaranya dan aku merasa ketagihan. Semua yang bisa kami lakukan rasanya cuma ketawa, malah tanpa pengertian apa itu cinta”, kata Mahadi kemudian.
“Apakah itu tidak terdengar kamu seperti murahan sekarang?”
“Aku merasa berharga saat ada orang yang mau bicara denganku”
“Kau pandai sekali bicara”
“Karena aku manusia dan sekarang ingin pipis”, jawab Mahadi sambil berdiri dari duduknya untuk mau pergi ke toilet. “Lusa, aku mau bertemu dengannya”
“Aku tidak ikut”, jawab Kamal sedikit teriak karena Mahadi sudah sedang berjalan menuju toilet
“Aku tidak ngajak”, jawab Mahadi.
BAB III
INDONESIAWI
INDONESIAWI
1
Sabtu malam Mahadi memiliki acara dengan klub independen himpunan mahasiswa Indonesia di Amsterdam. Mereka memberinya nama SERIKAT INDONESIAWI (bubar tahun 2005).
Serikat Indonesiawi adalah komunitas mahasaiswa Indonesia yang nyata di Amsterdam, saat itu anggotanya hanya 23 orang. Mahadi sendiri bukan anggota SERIKAT INDONESIAWI. Dia diajak ke sana oleh Nadia malam itu.
Nadia adalah teman baik Mahadi. Dia orang Jogja, berada di Amsterdam sudah hampir setahun, mengambil studi Administrasi Bisnis. Mereka mengenalnya di suatu acara De Haarlemse Stripdagen, yaitu semacam festival dua tahunan khusus untuk merayakan hari buku komik yang saat itu diselenggarakan di Haarlem.
Secara bertahap, mereka menjalin persahabatan, kemudian pada akhirnya, mereka hanya perlu untuk saling berkomunikasi satu sama lain dan seperti itu, tidak peduli kemana persahabatan harus berlanjut ke tingkat berikutnya.
Nadia tinggal tidak lebih dari sepuluh menit dengan berjalan kaki dari rumahnya menuju Café Hoppe. Mahadi dan Nadia janjian ketemu di sana, sebelum berangkat ke markas Serikat Indonesiawi. Saat itu malam sudah tiba, meresap di udara. Nadia memilih Grilled Cheese Sandwich. Mahadi memilih Split Pea Soup.
“Sebetulnya aku tuh merasa kurang sreg dengan rutinitas atau apa-apa yang sifatnya struktural gitu”, kata Mahadi ke Nadia mengomentari Serikat Indonesiawi di Café Hoppe, yaitu sebuah cafe tua berdinding kayu yang ada di Amsterdam, dan biasanya suka dijadikan tempat nongkrong anak-anak kuliahan selain kaum para wisatawan dari berbagai manca negara. Hari itu suasananya sedikit agak sibuk.
“Aku sih lebih suka yang sesuai dengan caraku sendiri”, kata Mahadi
“Kalau kamu ikut organisasi, hari ini berdiri, besoknya langsung bubar ha ha ha”
“Sepertinya aku lebih suka sendirian ya?”
“Kalau memilih sendirian. Hidup ini buat kamu jadi seperti toilet”. Jawab Nadia yang malam itu mengkhususkan dirinya dibungkus mantel warna merah dengan kepala menggunakan skullcaps warna putih. Dia mengenakan celana jeans.
“Tapi sendirian itu lebih merdeka dan memotivasi. Penuh inspirasi”, kata Mahadi
“Malam ini, setidaknya kamu datang untuk makan konsumsi laah”, jawab Nadia. “Ada banyak makanan di sana. Ada vacum cleaner juga”
“Vacuum cleaner?”, tanya Mahadi. “Buat apa?”
“Buat bersihin dosa-dosamu”, jawab Nadia ketawa
“Oke. Ah, aku sangat butuh itu”
Nadia ketawa lagi mendengar jawaban Mahadi seperti itu.
“Bergabung di himpunan itu,” kata Nadia, “buat aku sih cuma untuk kebersamaan aja. Sebagian diri kita ini kan untuk orang lain juga. Buat ngembangin tingkat senasib sepenanggungan di negeri orang. Biar ngerasa tetap Indonesia di tempat yang sama sekali berbeda”.
“Lebih tepatnya sih untuk menikmati pertemuan bersama kopi”
“Ya, bisa”, jawab Nadia.
Namun biasanya percakapan di himpunan malah sering cepat berubah menjadi diskusi yang sengit, terutama kalau sudah saling menguliti pandangan masing-masing.
“Kita hidup di alam demokrasi. Kita bebas mekspresikan pendapat. Itu normal”. Nadia bicara lagi setelah meminum hot milk tea-nya.
Tapi kadang-kadang, kalau mentalnya belum siap, keterbukaan malah jadi ajang untuk berlomba saling memenangkan pendapat masing-masing.
“Kalau sudah gitu, kamu harus segera pergi ke meja, ngambil makanan yang sudah tersedia di sana. Tutup kuping”.
“Oh begitu?”, tanya Mahadi.
“Ya, begitu juga bisa”, jawab Nadia dengan senyum di wajahnya, kemudian mengeluarkan sebatang rokok.
“Hello?”, tiba-tiba seorang bapak yang duduk tidak jauh dari Mahadi dan Nadia menyapa mereka dengan setengah tersenyum. Mahadi dan Nadia menoleh ke arahnya. Dia duduk sendirian. Kepalanya ditutupi oleh topi. Jaket yang digunakannya cukup tebal. Dia tampak begitu pucat. Ada rasa lelah di matanya. Kalau ditebak, usianya mungkin sudah 50 tahun. Dia seperti orang yang suka pergi keluyuran sepanjang waktu. Orang itu berdiri, menggeser kursinya dan kemudian bergerak pelan seperti sedang menyeret tubuhnya yang tambun, lalu mendekati mereka yang tidak tahu harus berbuat apa.
Mahadi dan Nadia belum sempat menyambutnya ketika Pak Tua itu sudah mulai bicara lagi dalam bahasa Inggrisnya yang beku. Dia mulai duduk di tengah mereka dengan tangannya yang nampak sediki tremor:
“Boleh aku bergabung?”, Pak Tua bertanya.
“Ya, silakan”, jawab Mahadi setelah sebelumnya memandang bapak tua itu. Dalam benaknya ia tahu Bapak Tua itu sedang mabuk. Mahadi dan Nadia benar-benar bingung dengan hal itu.
“Dari mana kalian?”, tanya orang itu menatap Nadia
“Indonesia”, jawab Nadia
“Oh! Ya. Saya tahu Indonesia. Lamp?”
“Lamp?”, Nadia balik nanya
“Apa bahasa Indonesianya lampu?”, Bapak Tua itu bertanya
“Oh. Lampu”, jawab Nadia
“Itu Bahasa Portugis. Loan word! Saya dari Portugis. Almari. Apa bahasa indonesia untuk Almari?”
“Lemari”
“Ya. Itu bahasa Portugis”
“Semua Bahasa Indonesia berasal dari Portugis?”, tanya Mahadi
“Tidak”, jawab Pak Tua. Kemudian dia bertanya ke Mahadi, “Oh, siapa namamu?”
“Mahadi De Albuquerque”, jawab Mahadi. Nadia ketawa karena dia tahu Mahadi sedang berbohong. De Albuquerque yang dimaksud oleh Mahadi adalah Alfonso De Albuquerque. Mahadi tahu Alfonso De Albuquerque karena pernah membacanya di buku sejarah dunia waktu dia masih SMP.
“De Albuquerque?”, Pak Tua itu balik nanya dengan wajah sedikit merasa heran.
“Iya. kenapa?”
“Haaah!!! Itu nama Portugis!!! Kamu tahu?”, jawab Pak Tua
“Kalau dia namanya Nadia Vasco Da Gamma”, Mahadi memperkenalkan Nadia, tentu saja Mahadi berbohong lagi. Aslinya Nadia Aprilia. Sedangkan Vasco Da Gamma adalah seorang penjelajah laut dari Portugis, yang sampai ke India dengan berlayar melalui jalur laut Afrika.
“Rupanya kalian berdua memakai nama Portugis”, jawab orang tambun serius sambil memicingkan matanya. “Itu nama Portugis. Kamu harus tahu”
Nadia hanya menatap Mahadi sebentar sebelum dirinya ketawa.
“Kamu tidak memperkenalkan namamu?”, Mahadi nanya
“Nama saya rahasia”
“Ha ha ha ha ha”. Nadia dan Mahadi ketawa setelah sebelumnya mata mereka berdua terbelalak. Pak Tua hanya tersenyum.
“Maaf, jangan memaksa, saya hanya waspada. Barangkalian kalian mata-mata SS Jerman. Saya ingin keluar dari sini hidup-hidup.”, Pak Tua memberi penjelasan dengan wajah yang serius
“Ha ha ha ha”, Nadia dan Mahadi ketawa.
“Saya memang banyak khawatir. Saya juga khawatir hidup saya kurang menarik. Kurang mengesankan”, kata Pak Tua itu, mengambil sesi untuk mengeluh. “Terus apa gunanya saya ada di dunia ini? Hidup saya hanya berguna sedikit untuk Isabelle. Kasihan Isabelle”
“Isabelle siapa?”, tanya Nadia tapi dengan sikap seperti orang yang memberi dukungan untuk Pak Tua mengekspresikan apa saja yang dia pikirkan.
“Tetanggaku”, jawab pak Tua itu, terdengar seperti sedang bergumam.
“Tetangga?”
“Iya. Dia cantik”, jawab Pak Tua. “Bagaimana menurutmu?”
“Ha ha ha”, Nadia ketawa. “Kami tidak tahu Isabelle mu”
“Kalian harus tahu”, jawab Pak Tua, langsung. “Dia cantik. Dia itu semua yang saya inginkan dari seorang wanita. Kalau saya Tuhan, saya akan melindungi Isabelle”
“Oke!”, jawab Mahadi. Nadia ketawa.
“Melindunginya sampai dia bersyukur kepadaku”, sambung Pak Tua.
“Bagaimana dengan kami?”, tanya Mahadi tersenyum, setelah ketawa sebentar.
“Kamu?”, Pak Tua balik nanya.
“Iya. Kalau kamu jadi Tuhan, kami dilindungi juga, seperti kamu ke Isabelle?”,
Pak Tua menjawab dengan memicingkan matanya ke Mahadi. Bibirnya tersenyum licik sambil menunjukan telapak tangannya, hampir seperti orang yang sedang meminta uang suap. Nadia dan Mahadi ketawa.
“Tuhan Matre rupanya”, kata Mahadi ke Nadia
“Ha ha ha”
“Kau harus tahu. Tidak ada yang lebih romantis dari tangan yang memegang Qualude Rusia”, katanya dengan badannya sudah mulai bergoyang. “Alam berputar untuk saya. Ini asyik. Saya bisa melihat kehidupan supranatural tanpa norma-norma membosankan. Sepertinya saya lebih merasa cocok berpartisipasi sebagai seorang pemabuk ha ha ha. Saya tidak butuh prinsip-prinsip bagaimana cara menjalani kehidupan yang baik. Saya tidak perlu Tuhan. Saya tidak perlu agama. Saya tidak perlu kitab suci. Sudah ada semua di dalam diri saya, karena kita semua bagian dari Tuhan. Tidak ada doa, tidak ada pengampunan, tidak ada penebusan dosa. Bagaimana pendapatmu?”, tanya Pak Tua seraya mencondongkan badannya ke Nadia, tapi yang menjawab Mahadi.
“Dia dilahirkan untuk tidak berpendapat” jawab Mahadi setelah diam sejenak karena harus mencerna omongan Pak Tua. Pak Tua menoleh ke Mahadi.
“Oke”, kata Pak Tua, terus memandang Nadia lagi, hampir seperti orang yang sedang merasa heran mengapa Nadia dilahirkan tidak untuk berpendapat. Nadia nampak menahan tawa.
“Hmmmm…Kamu hanya harus lebih kaya dari orang kaya kalau ingin mereka mendengar pendapatmu”, Pak Tua bicara lagi. “Kamu hanya harus lebih pintar dari orang pintar, kalau ingin mereka mendengar pendapatmu. Untuk orang seperti saya, dewa tak ingin mendengar. Saya harus menjadi dewa ya?”
Nadia memandang Mahadi yang sedang tersenyum untuk Pak Tua dari Portugis itu. Mahadi sepertinya adalah orang yang selalu berusaha untuk bisa menerima semua jenis orang.
2
Itu, kemudian menjadi cerita sebenarnya, ketika Nadia dan Mahadi meninggalkan Café Hoppe dan meninggalkan Bapak Tua itu. Dunia seperti tahu apa yang dirasakan oleh Pak Tua: kosong, tertinggal, dan kesepian. Jauh dari dari orang-orang yang tidak mengerti akan dirinya.
“Estou ó”, katanya menggunakan bahasa Portugis sebelum benar-benar dia ambruk menjatuhkan kepalanya di atas meja karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol. Dalam bahasa Indonesia artinya:”Aku tidak apa-apa”
Dulu, rasanya, polisi Amsterdam masih membolehkan orang membawa minuman beralkohol secara terbuka sambil berjalan atau nongkrong di jalanan. Kita bisa melihat orang-orang nampak bertengger di berbagai macam kapal yang ngambang di kanal untuk bersenang-senang dengan pesta dan mabuk. Tapi polisi akan menindak serius jika menemukan pengemudi yang mabuk. Dan Pak Tua itu datang dari Beer House sebelum mampir ke Café Hoppe.
“Sebenarnya aku lebih suka bicara dengan orang gila menyenangkan daripada dengan orang normal yang menyebalkan”, kata Mahadi ketawa, sambil berjalan dengan Nadia untuk datang ke acara pertemuan Serikat Indonesiawi. “Bicara dengannya, menemukan banyak hal baru. Menemukan beberapa bentuk keceriaan juga”, lanjut Mahadi.
“Siapa tadi namanya?”
“Rahasia”, jawab Mahadi sambil terus mengayuh sepeda bersama Nadia yang membonceng di belakangnya dan ketawa, menyusuri Kota Sungai dengan sejarah panjang toleransi dari semua jenis manusia.
Tidak lama kemudian, mereka sampai di ujung jalan dan kemudian belok kiri, karena mereka tahu kemana harus pergi: ke markas Serikat Indonesiawi, yang sebetulnya adalah tempat tinggal Rozi Amri, ketua dari Serikat Indonesiawi.
BERSAMBUNG 🙂