cerita ini adalah cerita yang dulu pernah ramai di daerah rumah cangah gw, rumahnya itu di desa, masih asri, sungai masih mengalir jernih, kiri-kanan masih sawah, mayoritas penduduknya kalau gak bertani ya berternak, nah, di desa ini, ada satu keluarga, juragan, yang kaya sekali. kekayaanya, gak usah dipertanyakan lagi.
saking kayanya, dimakan 7 keturunanya, gak akan habis, sampe-sampe pemda, ngeblacklist dia buat beli tanah di daerah tersebut, kalau gw sebut daerahnya, pasti langsung ketahuan siapa yang gw maksud. karena kekayaanya sampe sekarang.
gw gak ada maksud ghibah atau apapaun, hanya share cerita tentang salah seorang yang pernah bekerja untuk keluarganya, dan sebenarnya, orang di desa semuanya tahu, tahu akan apa yang gw tulis ini
semacam rahasia umum. tapi balik lagi, pasti ada hikmah di balik cerita ini, semoga jadi, daripada kelamaan, gw mulai saja ceritanya.
semua dimulai di malam itu.
di Desa, bukan hal aneh, penjual bakso berdagang sampai jam 2 dinihari, nah, waktu itu, karena daganganya masih sisa beberapa mangkok, beliau kebetulan lewat sebuah jalan tanah menuju salah satu desa, gak ada pikiran apapun, niatnya hanya berdagang saja. sampe, sseorang memanggil
“Bakso”
suara perempuan, tidak beberapa lama, terlihat perempuan, parasnya cantik, masih muda, ia memberikan mangkok, sembari menunggu si abang menjajakkan daganganya, di liriknya kaki si pembeli, alhamdulilah, napak tanah, jadi bukan hantu.
sambil basa basi, si abang tanya.
“rumah panjenengan dimana?” “kok gak pernah lihat ya”
si mbak yang beli, menunjuk sebuah rumah, dengan teras yang luasnya gak kira-kira, disana, berdiri sebuah rumah megah, paling megah pada tahun segitu.
diantara rumah lain di desa ini, tidak ada yang tidak kenal rumah itu.
“Rumah Cipto” begitu orang dulu memanggilnya, karena rumahnya memang milik keluarga yang paling terpandang, paling kaya sekaligus paling berkuasa di desa itu
setelah bertanya itu, si penjual bakso kembali basa-basi, mulai bertanya mulai dari siapa mbaknya, sampai ke ranah pribadi
Mbaknya menjawab ala kadarnya, bahwa ia adalah Abdi, si penjual tidak paham maksud Abdi, yang ia pikirkan itu adalah, bahwa ia, bekerja pada keluarga Cipto tadi.
di tengah obrolan sembari menyelesaikan daganganya, tiba-tiba, si mbak, mengatakan sesuatu kepada si penjual.
“besok, lewat sini lagi ya bang, jamnya kalau bisa, jam segini lagi, saya akan beli lagi bang”
setelah itu, si mbaknya, masuk ke gerbang pagar, dan menghilang di balik pintu rumah.
Aneh. baru kali pertama, seorang pedagang keliling, memiliki pelanggan tetap di jam tertentu.
selama hampir 5 hari, si abang lewat jalan itu, dan seolah-olah, pesan si mbak seperti sebuah tanggung jawab yang harus abang itu penuhi.
bahkan, saat daganganya akan habis, selalu ia sisakan satu mangkok hanya untuk menjualnya pada si mbak yang bahkan tidak ia tahu namanya.
di malam yang ke enam itu, saat melewati tempat itu, si penjual bakso, mendengar suara perempuan menangis.
takut. ngeri, suaranya terdengar sangat sedih.
ingin lari dan kabur, namun, terurungkan ketika si abang, terpaku melihat di samping pagar, si mbak yang rupanya menangis.
“Mbaknya kenapa menangis?”
si mbak yang kaget, kemudian berpura-pura bahwa ia tidak menangis, entah apa alasanya untuk meyakinkan abang penjual bakso itu, meski berbohong, si abang tidak mau ikut campur lebih jauh tentang masalahnya.
singkat cerita, si abang kemudian menjajakkan daganganya, malam itu, ia kasih gratis agar si mbak tidak sedih lagi.
saat itu lah, si mbak, lagi-lagi, mengatakan hal yang tidak di mengerti.
“besok abang, gak perlu lewat sini lagi, toh saya sudah gak disini lagi”
mendengar itu, si abang sebenarnya ingin bertanya, apa si mbak berhenti dari pekerjaanya sebagai abdi, atau ia mau pulang kampung.
namun, pertanyaan itu, ia urungkan